Kreasi dan Kreatif

Rabu, 29 Mei 2013

Analisa Protein dengan Metode Bradford

Salah satu prosedur analisa kandungan protein dalam larutan adalah menggunakan metode Bradford yang pertama kali dideskripsikan oleh Bradford (Bradford et al., 1976). Metode ini lebih simple, lebih cepat dan lebih sensitif dibanding metode Lowry, selain itu Bradford juga lebih tahan terhadap interferensi senyawaan nonprotein. Metode Bradford didasarkan pada pengikatan zat warna Coomassie Blue G-250 ke protein, dimana zat warna ini memiliki empat formasi ion berbeda dengan nilai pKa 1.15, 1.82 dan 12.4. Bentuk kationik zat warna ini berwarna merah dan hijau dengan panjang gelombang serapan (absorbansi) maksimum pada 470 dan 650 nm. Sedangkan bentuk anioniknya berwarna biru dengan absorbansi maksimum 590 nm. Pengukuran proteinnya sendiri dilakukan dengan menentukan jumlah zat warna dalam bentuk anionik (biru), dan biasanya hal ini dilakukan dengan mengukur absorbansi larutan pada 595 nm.

Zat warna Coomassie Blue G-250 bereaksi cepat dengan residu arginil dan lysil dari protein, sehingga hal ini menyebabkan adanya variasi hasil pengukuran untuk jenis protein yang berbeda-beda. Protein dengan residu arginil dan lysil yang lebih banyak tentu akan menghasilkan warna biru yang lebih intens dibanding protein yang residu arginil dan lysilnya lebih sedikit meskipun jumlah proteinnya sama. Namun secara umum metode Bradford masih merupakan metode yang paling sesuai dan paling umum digunakan.
Ada dua jenis assay protein dengan metode Bradford, yaitu Standard Assay –cocok untuk pengukuran kadar protein antara 10 sampai 100 µg– dan Microassay yang dapat mendeteksi antara 1 sampai 10 µg protein. Konsekuensinya microassay lebih rentan terhadap interferensi senyawaan nonprotein.

·         Material yang digunakan

Ø   Pereaksi (Reagent)
Pereaksi yang digunakan dibuat dengan melarutkan 100 mg Coomassie Blue G-250 dalam 50 ml ethanol 95%. Larutan ini kemudian dicampurkan dengan 100 ml asam fosfat 85% dan diencerkan sampai volume 1 L dengan aquadest. Pereaksi ini harus difilter dengan kertas saring Whatman no. 1 dan disimpan dalam botol amber (gelap) di suhu ruang. Pereaksi ini stabil hingga beberapa minggu, namun jika terbentuk endapan ketika penyimpanan, maka harus difilter lagi saat hendak digunakan.
Ø   Standar Protein
Bovine γ-globulin dengan konsentrasi 1 mg/ml (atau 100 µg/ml untuk microassay) digunakan sebagai larutan stok (disimpan beku pada suhu -20oC). Konsentrasi protein larutan standard harus diukur sebelum digunakan dengan mengukur absorbansinya pada 280 nm. Absorbansi larutan Bovine γ-globulin 1mg/ml pada cuvet 1 cm adalah 1.35. Jika yang digunakan adalah Bovine Serum Albumin (BSA) atau Ovalbumin, maka absorbansinya masing-masing adalah 0.66 dan 0.75.
Ø   Alat Gelas dan Plastik
Alat gelas dan plastik yang digunakan harus benar-benar bersih dan bebas detergen. Jangan menggunakan cuvet silika (Quartz) untuk pengukuran spektrofotometer karena zat pewarna dapat terikat pada bahan ini.

Standard Assay

·         Pipet 100 µl sample yang mengandung kira-kira 10 – 100 µg protein. Jika perkiraan konsentrasi proteinnya tidak diketahui, maka bisa dibuat beberapa seri pengenceran (1, 1:10, 1:100, 1:1000, dst). Siapkan secara duplo.
·         Untuk kurva kalibrasi, buatlah seri larutan standard 100, 200, 400, 600, 800 dan 1000 µg/ml. Lalu pipet masing-masing 100 µl ke dalam tabung. Siapkan blanko dengan aquadest 100 µl.
·         Tambahkan 5 ml pereaksi Bradford ke dalam masing-masing tabung sample dan standard, campur dengan membolak-balik tabung atau divortex secara perlahan. Hindari terbentuknya busa karena akan mengurangi reproducibility-nya. Inkubasi selama 2 sampai 60 menit.
·         Ukur absorbansi sample dan standard pada panjang gelombang 595 nm.
Catatan:
  • Standard 100 µg akan memberikan absorbansi sekitar 0.4.
  • Kurva standard-nya tidak linear, dan presisi absorbansinya bervariasi bergantung pada lamanya inkubasi. Jadi kurva kalibrasi harus dibuat untuk setiap assay.

Microassay

·         Pipet 100 µl sample yang mengandung kira-kira 1 – 10 µg protein ke dalam tabung Eppendorf 1.5 ml. Jika perkiraan konsentrasi proteinnya tidak diketahui, maka bisa dibuat beberapa seri pengenceran (1, 1:10, 1:100, 1:1000, dst). Siapkan secara duplo.
·         Untuk kurva kalibrasi, buatlah seri larutan standard 10, 20, 40, 60, 80 dan 100 µg/ml. Lalu pipet masing-masing 100 µl ke dalam tabung. Siapkan blanko dengan aquadest 100 µl.
·         Tambahkan 1 ml pereaksi Bradford ke dalam masing-masing tabung, campur dengan membolak-balik tabung atau divortex secara perlahan. Hindari terbentuknya busa karena akan mengurangi reproducibility-nya. Inkubasi selama 2 sampai 60 menit.
·         Ukur absorbansi sample dan standard pada panjang gelombang 595 nm. Nilai absorbansi untuk sampel yang mengandung 10 µg γ-globulin adalah 0.45. 








Memanfaatkan Nanoteknologi untuk Mengobati Penyakit


NANOTEKNOLOGI



Mungkinkah seseorang menahan napas selama empat jam sambil duduk santai di dasar kolam renang? Atau, berlari cepat selama 15 menit tanpa perlu bernapas? Menjadi manusia "adikodrati" semacam itu sekarang dimungkinkan berkat adanya Respirocyte, sebuah nanorobot ciptaan Robert A Freitas, pakar nanoteknologi dari AS. Nanoteknogi adalah teknologi yang bekerja dalam skala sepermiliar meter.Respirocyte yang berdiameter 1 mikron itu mengapung sepanjang aliran darah. Robot berbentuk spiral itu terbuat dari 18 juta atom, sebagian besar berupa atom karbon dengan formasi berlian. Tugas Respirocytes meniru cara kerja pengisian sel darah merah secara alamiah ke dalam hemoglobin. Sebagai pompa mini, nanorobot mampu memompa lebih dari 9 miliar molekul oksigen dan karbon dioksida. Hal itu setara dengan mengantar 236 kali lebih banyak oksigen daripada yang dilakukan sel darah merah.

Bentuk molekulnya yang mirip berlian memungkinkan Respirocyte bekerja dengan tekanan hingga 1.000 atmosfer (atm). Padahal, sel darah merah bekerja hanya pada tekanan 0,51 atm dan disalurkan ke jaringan sebesar 0,13 atm saja, sehingga injeksi 5 sentimeter kubik cairan suspensi akan mampu memindahkan semua oksigen dan karbon dioksida yang ada dalam 5.400 sentimeter kubik darah dalam tubuh. Itu sebabnya seseorang mampu menahan napas lebih lama tanpa takut kehilangan oksigen.
Kehebatan nanoteknologi tak berhenti di situ saja. Mengatasi bahkan mengobati penyakit pun bisa dilakukan nanoteknologi. Penderita hipertensi, misalnya, kini tak perlu lagi disuntik atau mengonsumsi obat, cukup hanya disemprot saja ke bagian tubuh tertentu Hal itu menjadi kenyataan setelah sejumlah profesor dari Universitas Tsinghua dan Universitas Beijing, RRC, melakukan riset bertahun-tahun untuk menggabungkan pengobatan tradisional Cina dengan teknologi modern berupa bioteknologi dan nanoteknologi. Hasilnya, ternyata bahan baku alami obat tradisional Cina dapat diperkecil hingga ke ukuran nano, sehingga dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh, menstabilkan tubuh pada fungsi hati, melancarkan aliran darah, meningkatkan peredaran darah, melarutkan darah yang mengental dan menggumpal, mengurangi daya hambat pembuluh darah, sehingga tekanan darah dapat diturunkan ke tingkat normal pada penderita hipertensi.
Bentuk akhirnya berupa cairan semprot yang dinamakan Sunny Wen Ya Yi. "Nanoteknologi hanya memperkecil ukurannya tanpa mengubah fungsi obatnya," kata Handi William, Operational Director PT Cahaya Bioteknologi Farmasi, produsen produk baru tersebut. Tidak mengherankan kalau perusahaan itu, selama Pekan Raya Jakarta (PRJ) berlangsung hingga 18 Juli nanti, mengundang pengunjung untuk mendapatkan pelayanan kesehatan berupa tes tekanan darah dan konsultasi kesehatan gratis. Bagi pengunjung yang menderita tekanan darah tinggi akan diberikan penyemprotan gratis cairan somprot itu untuk menurunkan tekanan darahnya. Tak kurang 20 juru rawat dan 5 dokter dibantu sekitar 35 tenaga promosi terjun dalam pelayanan kesehatan tersebut. Caranya sederhana saja, mula-mula pengunjung dites tekanan darahnya dengan tensimeter digital. Bila ternyata tekanan darahnya di atas ambang normal (90/140 mmHg), pengunjung akan dipersilakan ke bilik bersama petugas yang tepat untuk disemprot bagian dalam lengan, sekeliling pusar, dan bagian dalam paha. Setelah itu, pengunjung akan diminta melakukan tes ulang tekanan darah setelah 20-30 menit. Kebanyakan pengunjung terheran-heran ketika mengetahui tekanan darahnya menurun drastis dan bahkan kembali normal dalam waktu singkat. Semua karena partikel obat yang berukuran lebih kecil daripada atom dapat langsung menembus kulit dan langsung menembus ke pembuluh kapiler darah. Setelah memasuki sirkulasi darah dan sampai pada pembuluh darah, cairan semprot itu menghasilkan efek farmakodinamika, sehingga akhirnya dapat menstabilkan tekanan darah penderita. Meski merupakan produk baru, cairan semprot itu memiliki harga cukup terjangkau, yakni Rp 128 ribu per botol ukuran 50 ml, lengkap dengan buku pedoman yang tebal. Sebotol dapat digunakan untuk sebulan pemakaian.


Hipertensi sering disebut "pembunuh diam-diam" karena sebagian besar pasien hipertensi tanpa mengalami keluhan apa pun selama bertahun-tahun. Sakit kepala, pening, baru terasakan bila tekanan darah sudah menjadi amat tinggi. Gejala lain yang dapat timbul, antara lain keringat berlebihan, kram otot, rasa lemas, sering kencing, dan jantung berdebar. Hipertensi bisa dipicu oleh konsumsi makanan yang mengandung lemak. Karena makanan tersebut banyak disukai orang, tak heran jika hipertensi memiliki peluang berjangkit pada semua orang. Pada umumnya prevalensi hipertensi berkisar antara 1,8 - 28,6 persen penduduk yang berusia di atas 20 tahun. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat 15 persen golongan kulit putih dewasa dan 25-30 persen golongan kulit hitam adalah penderita hipertensi.
Menurut WHO, batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg, dan dikatakan darah tinggi/hipertensi jika tekanan darah sama atau di atas 160/95 mmHg. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu hipetensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, yang merupakan kelompok terbanyak yakni 90 persen. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal sebanyak 10 persen. Pada umumnya komplikasi terjadi pada hipertensi berat, yaitu apabila tekanan diastolik sama atau lebih dari 130 mmHg, atau kenaikan tekanan darah yang mendadak tinggi. Komplikasi serebrovaskular dan komplikasi jantung sering ditemukan di samping adanya komplikasi pada organ-organ sasaran utamanya, yaitu jantung, ginjal, mata, dan susunan saraf pusat. Pada jantung menyebabkan gagal jantung, pada ginjal menyebabkan gagal ginjal, pada mata menyebabkan retinopati, dan pada susunan saraf pusat menyebabkan stroke. Meski secara umum dianjurkan tekanan berada di bawah 140/90, tetapi pada penderita penyakit ginjal karena diabetes dianjurkan agar tekanan darahnya berada pada kisaran 125-130/75-80. Modifikasi gaya hidup merupakan cara teraman dan termurah dalam mengatasi hipertensi, antara lain dengan menurunkan berat badan bila berlebih (indeks massa tubuh > 27), membatasi konsumsi alkohol, meningkatkan aktivitas fisik aerobik (30-45 menit/hari), mengurangi asupan garam (menjadi hanya 6 gram perhari), mempertahankan asupan kalium (90 mmol/hari), mempertahankan asupan kalsium dan magnesium, berhenti merokok, dan mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan. Walaupun penyakit hipertensi tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikendalikan melalui modifikasi maupun gaya hidup serta atau tanpa pengobatan. Karena itu, penting bagi penderitanya untuk memeriksakan diri dan melaksanakan pengobatan secara teratur, dan yang terpenting bagi yang belum menderita adalah dengan pencegahan sedini mungkin melalui gaya hidup yang sehat.
                                                                

Aplikasi DNA Microarrays untuk Kanker Payudara


Salah satu aplikasi DNA Microarrays adalah untuk mengamati perubahan tingkat ekspresi genetik dari berbagai gen secara bersamaan. Jumlah gen yang diamati bisa puluhan, ratusan bahkan ribuan. Contoh aplikasinya adalah untuk meneliti kanker payudara dan respon pasien akan terapi yang diberikan untuk mengobati penyakit tersebut. Dengan DNA Microarrays ini dokter dapat memprediksi respon atau ketahanan pasien terhadap pengobatan, terutama pada kemotrapi.

DNA Microarray menggunakan bahan solid, seperti slide kaca, chip silicon, atau membrane nilon yang di atasnya di-spot-kan ribuan bahkan jutaan molekul DNA yang mewakili gen-gen yang akan diamati yang bertindak sebagai probe. Dalam proses selanjutnya cDNA yang dibuat dari mRNA yang dihasilkan oleh ekspresi genetik pasien akan terhibridisasi pada spot DNA probe yang sesuai. Dengan menggunakan DNA Microarrays, ekspresi dari ribuan gen pada sampel tumor dapat diuji dengan satu penelitian. Beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam mengamati ekspresi gen ini adalah penggunaan cDNA dan oligonukeotida microarray. Secara umum, mRNA yang diekstraksi dari sampel biologis diubah menjadi cDNA utas tunggal dan diberi label fluorescence. Setelah itu diikuti oleh hibridisasi cDNA terlabel ke permukaan DNA microarray. Interaksi antara probe dan target dideteksi menggunakan detektor.
Setelah itu analisis data dilakukan dan dapat diketahui bagaimana respon pasien pada pengobatan tertentu, identifikasi target yang menjadi akar masalah di dalam penyakit ini, dan pengobatan atau terapi apa yang tepat untuk diberikan pada si pasien. Setelah data dianalisis, maka dapat dilakukan terapi secara personal pada pasien sehingga pengobatan tersebut dapat efektif mengobati kanker yang diderita. Pada beberapa pengobatan kemoterapi secara umum, pengobatan dilakukan secara menyeluruh dan umum sehingga gen tumor dapat diatasi tetapi radiasi menyerang gen yang lain, seperti rambut yang mudah rapuh dan rontok sehingga tubuh pasien kadang kala tidak kuat untuk menahan efek samping tersebut. Karena itu terapi secara personal ini dapat menjadi hal yang berguna bagi pasien karena terapi yang dilakukan sesuai dengan respon imun dan ketahanan tubuh pasien.

dikutipdari: http//:www.sciencebiotech.net


Kegunaan Modeling Protein dalam mengembangkan agen terapetik



Dunia medis mendapatkan tantangan baru dari berbagai penyakit menular. Demam berdarah Dengue, Flu Burung, dan sekarang Flu Babi, adalah infeksi virus yang sampai sekarang belum ada obatnya. Terapi yang ada, hanya berfungsi untuk menahan laju replikasi virus. Diperlukan metode dan teknologi baru untuk mengatasinya. Bioinformatika datang untuk membantu. Apakah yang bisa dilakukan bioinformatika untuk itu? Mari kita simak. Kemajuan pesat dari riset biologi molekuler telah menghasilkan data eksperimen proteomik dalam jumlah masif. Data tersebut disimpan pada database terpusat, seperti SWISS PROT atau Genbank. Bersamaan dengan itu, hasil kristalografi sinar X dari protein, disimpan pada database PDB (Protein Data Bank). Aplikasi Modeling Protein dalam dunia biomedis, kelihatan sangat nyata pada pengembangan anti retroviral.
Salah satu contohnya, adalah pengembangan obat untuk HIV/AIDS (Human Immunodeficiency virus). Seperti yang kita ketahui, HIV memiliki beberapa enzim yang berfungsi untuk integrasi genom virus pada genom inang, replikasi virus, dan lisis sel inang. Beberapa enzim yang telah diketahui memiliki peranan sangat penting dalam eksistensi HIV, adalah integrase dan reverse transcriptase. Integrase berfungsi untuk mengintegrasikan genom virus pada sel inang, sementara reverse transcriptase berguna untuk mengkonversi RNA virus menjadi DNA. Titik kritis dalam pengembangan obat, adalah mencari lead compound yang dapat menjadi inhibitor pada kedua enzim tersebut. Sebelum dilakukan eksperimen laboratorium, ada baiknya dilakukan modeling komputer, untuk menentukan lead compound apa yang cocok sebagai inhibitor.
Secara teknis, modeling tersebut dapat dilakukan dengan dua tahap:
·         Pertama, membangun model kinetika reaksi enzim-inhibitor. Dengan memasukkan rumus perhitungan, maka dapat diketahui apakah inhibitor tersebut bersifat reversibel, ireversibel, atau non reversibel. Data-data ini akan berguna untuk pengembangan obat selanjutnya. Kedua, dan ini tahap yang paling penting, adalah membangun model komputer terhadap interaksi protein/enzim dengan inhibitor. Model ini bersifat 3D, sehingga dapat me-render binding site dan catalytic site dari enzim secara sangat jelas. Interaksi inhibitor dengan kedua situs itu juga dapat dimonitor dengan jelas. Dalam tahap ini, ikatan yang terlibat pada reaksi, seperti ikatan kovalen, ionik, atau gaya van der waals, semua dapat dimonitor secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam pembangunan model ini, secara default, pelarut yang digunakan adalah air. Inhibitor yang dikembangkan, dapat bersifat sintetik, semi sintetik, atau dari bahan alam. Membangun molekul inhibitor sintetik, dalam rangka mencari kecocokannya dengan reaksi enzimatik, dapat dilakukan dengan bantuan software modeling kimia. Jika sudah ditemukan molekul yang cocok, baru tahap selanjutnya, yang tidak berhubungan langsung dengan modeling, dapat dilakukan. Langkah ini adalah melakukan sintesis laboratoris terhadap senyawa tersebut.
Langkah membangun model kimia inhibitor di komputer, akan sangat menghemat biaya untuk sintesis laboratoris. Berhubung regen biokimia harganya mahal, maka diperlukan langkah cerdas untuk penghematan, tanpa harus mengorbankan kualitas riset. Dengan pertama kali membangun model kimia inhibitor, kemudian mengujinya dalam model reaksi protein/enzim-inhibitor, dan setelah itu baru melakukan sintesis inhibitor, maka langkah ini akan menghemat banyak sekali dana penelitian.

dikutip dai: http://sciencebiotech.net


Suntikan Tanpa Rasa Sakit


Kanji Takada, seorang profesor farmakokinetik di Jepang, berhasil menciptakan sebuah perangkat berukuran hanya 1,5 cm yang berisi 300 jarum mikro. Perangkat ini dapat mentransfer obat ke dalam tubuh tanpa merusak lapisan dermis kulit.“Dengan penetrasi hanya sekitar 0,5 milimeter sebelum jarum akhirnya larut dan mengirimkan vaksin ke dalam darah, pasien tidak akan merasakan apapun dan tidak ada pendarahan,” kata Profesor Takada dari Kyoto Pharmaceutical University kepada Telegraph (4/4/10).


Perangkat ini dapat digunakan untuk memberikan semua jenis vaksin pada orang yang takut pada suntikan. Untuk itu, Profesor Takada telah menghabiskan enam tahun untuk mengembangkan sistem vaksin obat ini, setelah sebelumnya peneliti lain telah mencoba menggunakan jarum mikro yang terbuat dari gula. Sayangnya, perangkat ini gagal karena jarum tersebut telah terdegradasi pada suhu di atas 100 derajat celcius. Profesor Takada pun kemudian mengganti gula dengan polimer larut air – untuk membuat jarum mikro – yang dapat larut ketika ditekan ke dalam epidermis, lapisan terluar kulit, saat melepaskan vaksin ke dalam sistem peredaran darah. Jarum mikro tersebut hanya memiliki panjang 0,5 mm dan lebar 0,3 mm dan hasil uji coba menunjukkan bahwa efisiensi vaksin ini tidak terpengaruh oleh metode penyuntikannya.


Dikutip dari: http://pantonanews.com

Autisme Dapat Terdeteksi Sejak di Kandungan

AUTISME



Risiko seorang bayi menyandang autisme dapat diketahui sejak ia masih berada dalam plasenta. Caranya, dengan mendeteksi lebih awal ketidaknormalan dalam plasenta yang menaunginya. Dengan demikian akan tercipta diagnosa awal yang menjadi dasar penanganan. Itu merupakan hasil kesimpulan dari para pakar di Yale School of Medicine, AS, yang dikeluarkan dalam jurnal Biological Psychiatry, Kamis (25/4).
 Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), setiap tahunnya di AS, satu dari 50 anak yang lahir didiagnosa dengan gangguan spektrum autisme. Namun, diagnosa ini biasanya tercipta ketika si anak sudah berusia tiga atau empat tahun. Dalam usia ini, peluang terbaik untuk pengobatan sudah lewat karena otak lebih responsif terhadap pengobatan pada tahun pertama kehidupan.
Diketahui oleh Harvey Kliman, penulis laporan ini dan peneliti dari Yale, plasenta yang abnormal mengandung pertumbuhan sel yang tidak normal pula. Sel yang disebut inklusi trofoblas merupakan penanda utama bahwa si jabang bayi berisiko menyandang autisme. Untuk sampai pada kesimpulan ini, Kliman memeriksa 117 plasenta dari keluarga yang berisiko --anak sebelumnya pernah menyandang autisme. Plasenta dari keluarga awal ini dibandingkan dengan 100 plasenta lain yang dikumpulkan oleh peneliti dari UC Davis namun dari area geografi sama.
Plasenta dari keluarga berisiko mengandung 15 inklusi trofoblas. Sedangkan plasenta dari UC Davis memiliki tidak lebih dari satu atau dua inklusi trofoblas. Dikatakan Kliman, plasenta dengan empat atau lebih inklusi trofoblas, memiliki kemungkinan 96,7 persen risiko autisme. "Saya harap pemeriksaan plasenta akan menjadi hal rutin dan anak yang menunjukkan adanya perkembangan inklusi trofoblas dapat diobati dari awal. Dan, hasil dari tes ini adalah peningkatan kualitas hidup," ujar Kliman.
Saat ini, penanda risiko autisme adalah rekam jejak kelurga. Pasangan dengan anak autis, sembilan kali lebih mungkin untuk memiliki anak lain dengan autisme. Ditambahkan Kliman, pasangan yang berisiko seperti ini bisa merencanakan strategi awal untuk pencegahan.


Dikutip dari : http://nationalgeographic.co.id/
OBAT OFF-LABEL


Penggunaan obat off-label adalah penggunaan obat di luar indikasi yang disetujui oleh lembaga yang berwenang. Lembaga berwenang itu kalau di Amerika adalah Food and Drug Administration (FDA), sedangkan di Indonesia adalah Badan POM. Tetapi karena umumnya obat-obat yang masuk ke Indonesia adalah obat impor yang persetujuannya dimintakan ke FDA, maka bisa dibilang bahwa indikasi yang dimaksud adalah indikasi yang disetujui oleh FDA.
Perlu diketahui bahwa sebelum obat dipasarkan, mereka harus melalui uji klinik yang ketat, mulai dari fase 1 sampai dengan 3. Uji klinik fase 1 adalah uji pada manusia sehat, untuk memastikan keamanan obat jika dipakai oleh manusia. Uji klinik fase 2 adalah uji pada manusia dengan penyakit tertentu yang dituju oleh penggunaan obat tersebut, dalam jumlah terbatas, untuk membuktikan efek farmakologi obat tersebut. Uji klinik fase 3 adalah seperti uji klinik fase 2 dengan jumlah populasi yang luas, biasanya dilakukan secara multi center di beberapa kota/negara. Jika hasil uji klinik cukup meyakinkan bahwa obat aman dan efektif, maka produsen akan mendaftarkan pada FDA untuk disetujui penggunaannya untuk indikasi tertentu.
Mengapa Obat Digunakan Secara Off-Label?
Satu macam obat bisa  memiliki lebih dari satu macam indikasi atau tujuan penggunaan obat. Jika ada lebih dari satu indikasi, maka semua indikasi tersebut harus diujikan secara klinik dan dimintakan persetujuan pada FDA atau lembaga berwenang lain di setiap negara. Suatu uji klinik yang umumnya berbiaya besar itu biasanya ditujukan hanya untuk satu macam indikasi pada keadaan penyakit tertentu pula. Nah… seringkali,…  ada dokter yang meresepkan obat-obat untuk indikasi-indikasi yang belum diujikan secara klinik.  Itu disebut penggunaan obat off-label. Atau bisa jadi, obat mungkin sudah ada bukti-bukti klinisnya, tetapi memang tidak dimintakan approval kepada lembaga berwenang karena berbagai alasan (misalnya alasan finansial), maka penggunaannya juga dapat digolongkan penggunaan obat off-label.
Penggunaan obat-obatan off-label cukup banyak terjadi. Seperlima dari semua obat yang diresepkan di Amerika adalah bersifat off-label. Dan pada obat-obat untuk gangguan psikiatrik, penggunaan obat off-label meningkat sampai 31%.  Contohnya risperidon, yang diindikasikan sebagai obat antipsikotik untuk pengobatan penyakit skizoprenia/sakit jiwa, banyak digunakan untuk mengatasi gangguan hiperaktifitas dan gangguan pemusatan perhatian pada anak-anak, walaupun belum ada persetujuan dari FDA untuk indikasi tersebut. Selain itu, uji klinik biasanya tidak dilakukan terhadap anak-anak, sehingga diduga 50-75% dari semua obat yang diresepkan oleh dokter anak di AS adalah berupa penggunaan off-label, karena memang indikasinya untuk penggunaan pada anak-anak belum mendapat persetujuan FDA.
Mengapa Dokter Meresepkan obat Off – Label?
Bisa jadi karena obat-obat yang tersedia dan approved tidak memberikan efek yang diinginkan, sehingga dokter mencoba obat yang belum disetujui indikasinya. Beberapa alasannya antara lain adalah adanya dugaan bahwa obat dari golongan yang sama memiliki efek yang sama (walaupun belum disetujui indikasinya), adanya perluasan ke bentuk yang lebih ringan dari indikasi yang disetujui, atau perluasan pemakaian untuk kondisi tertentu yang masih terkait (misalnya montelukast untuk asma digunakan untuk Penyakit paru obstruksi kronis), dll. Atau memang dokternya ingin coba-coba walaupun belum ada bukti klinik yang mendukung.


Penggunaan obat off-label yang sering terjadi adalah pada pengobatan kanker. Sebuah studi tahun 1991 menemukan bahwa sepertiga dari semua pemberian obat untuk pasien kanker adalah off-label, dan lebih dari setengah pasien kanker menerima sedikitnya satu obat untuk indikasi off-label. Sebuah survei pada tahun 1997 terhadap sebanyak 200 dokter kanker oleh American Enterprise Institute dan American Cancer Society menemukan bahwa 60% dari mereka meresepkan obat off-label. Hal ini karena umumnya uji klinik untuk obat kanker dilakukan pada satu jenis kanker tertentu, sehingga indikasi yang disetujui adalah hanya untuk jenis kanker tertentu. Tetapi kenyataannya, dokter sering mencoba obat kanker tersebut untuk jenis kanker yang lain yang belum disetujui penggunaannya. Maka ini termasuk juga penggunaan obat off-label.
Apa Saja Contoh Penggunaan Obat Off – Label?
Penggunaan obat off-label sendiri ada dua jenis. Yang pertama, obat disetujui untuk mengobati penyakit tertentu, tapi kemudian digunakan untuk penyakit yang sama sekali berbeda. Misalnya amitriptilin yang disetujui sebagai anti depresi, digunakan untuk mengatasi nyeri neuropatik. Yang kedua, obat disetujui untuk pengobatan penyakit tertentu, namun kemudian diresepkan untuk keadaan yang masih terkait, tetapi di luar spesifikasi yang disetujui. Contohnya adalah Viagra, yang diindikasikan untuk mengatasi disfungsi ereksi pada pria, tetapi digunakan untuk meningkatkan gairah sexual buat pria walaupun mereka tidak mengalami impotensi atau disfungsi ereksi.
Beberapa contoh lain penggunaan obat off-label antara lain adalah:
1.            Actiq (oral transmucosal fentanyl citrate), digunakan secara off-label untuk mengatasi nyeri kronis yang bukan disebabkan oleh kanker, meskipun indikasi yang disetjui oleh FDA adalah untuk nyeri kanker.
2.            Carbamazepine, suatu obat anti epilepsi, banyak dipakai sebagai  mood stabilizer
3.            Gabapentin, disetujui sebagai anti kejang dan neuralgia (nyeri syaraf) post herpes, banyak dipakai secara off-label untuk gangguan bipolar, tremor/gemetar, pencegah migrain, nyeri neuropatik, dll.
4.      Sertraline, yang disetujui sebagai anti-depressant, ternyata banyak juga diresepkan off-label sebagai pengatasan ejakulasi dini pada pria.

Golongan Obat Yang Sering Digunakan Secara Off – Label ?
Dan masih banyak lagi, yang mungkin pada satu negara dengan negara lain terdapat jenis-jenis penggunaan obat off-label yang berbeda. Beberapa golongan obat populer yang sering dipakai off-label antara lain adalah obat-obat jantung, anti kejang, anti asma, anti alergi, dll. seperti tertera dalam gambar.

Apa Pentingnya Mengetahui Obat Off – Label?


Penggunaan obat off-label sah-sah saja dan seringkali bermanfaat. Bisa jadi bukti klinis tentang efikasinya sudah ada, tetapi belum dimintakan approval kepada lembaga berwenang karena berbagai alasan. Tetapi perlu diketahui juga bahwa karena obat ini digunakan di luar indikasi yang tertulis dalam label obat, maka jika obat memberikan efek yang tidak diinginkan, produsen tidak bertanggung-jawab terhadap kejadian tersebut. Kadang pasien juga tidak mendapatkan informasi yang cukup dari dokter jika dokter meresepkan obat secara off label. Dan jika terdapat penggunaan obat off-label yang tidak benar, maka tentu akan meningkatkan biaya kesehatan. Faktanya banyak penggunaan obat off-label yang memang belum didukung bukti klinis yang kuat. Lebih rugi lagi adalah bahwa obat-obat yang diresepkan secara off-label umumnya tidak dicover oleh asuransi, sehingga pasien harus membayar sendiri obat yang belum terjamin efikasi dan keamanannya.