OBAT OFF-LABEL
Penggunaan obat off-label adalah penggunaan obat di luar
indikasi yang disetujui oleh lembaga yang berwenang. Lembaga berwenang itu
kalau di Amerika adalah Food and Drug Administration (FDA), sedangkan di
Indonesia adalah Badan POM. Tetapi karena umumnya obat-obat yang masuk ke Indonesia
adalah obat impor yang persetujuannya dimintakan ke FDA, maka bisa dibilang
bahwa indikasi yang dimaksud adalah indikasi yang disetujui oleh FDA.
Perlu diketahui bahwa sebelum obat dipasarkan, mereka harus
melalui uji klinik yang ketat, mulai dari fase 1 sampai dengan 3. Uji klinik
fase 1 adalah uji pada manusia sehat, untuk memastikan keamanan obat jika
dipakai oleh manusia. Uji klinik fase 2 adalah uji pada manusia dengan penyakit
tertentu yang dituju oleh penggunaan obat tersebut, dalam jumlah terbatas,
untuk membuktikan efek farmakologi obat tersebut. Uji klinik fase 3 adalah
seperti uji klinik fase 2 dengan jumlah populasi yang luas, biasanya dilakukan
secara multi center di beberapa kota/negara. Jika hasil uji klinik cukup
meyakinkan bahwa obat aman dan efektif, maka produsen akan mendaftarkan pada
FDA untuk disetujui penggunaannya untuk indikasi tertentu.
Mengapa
Obat Digunakan Secara Off-Label?
Satu macam obat bisa memiliki lebih
dari satu macam indikasi atau tujuan penggunaan obat. Jika ada lebih dari
satu indikasi, maka semua indikasi tersebut harus diujikan secara klinik dan
dimintakan persetujuan pada FDA atau lembaga berwenang lain di setiap negara.
Suatu uji klinik yang umumnya berbiaya besar itu biasanya ditujukan hanya untuk
satu macam indikasi pada keadaan penyakit tertentu pula. Nah…
seringkali,… ada dokter yang meresepkan obat-obat untuk
indikasi-indikasi yang belum diujikan secara klinik. Itu disebut
penggunaan obat off-label. Atau bisa jadi, obat mungkin sudah ada bukti-bukti
klinisnya, tetapi memang tidak dimintakan approval kepada lembaga berwenang
karena berbagai alasan (misalnya alasan finansial), maka penggunaannya juga
dapat digolongkan penggunaan obat off-label.
Penggunaan obat-obatan off-label cukup banyak terjadi.
Seperlima dari semua obat yang diresepkan di Amerika adalah bersifat off-label.
Dan pada obat-obat untuk gangguan psikiatrik, penggunaan obat off-label
meningkat sampai 31%. Contohnya risperidon, yang diindikasikan
sebagai obat antipsikotik untuk pengobatan penyakit skizoprenia/sakit jiwa,
banyak digunakan untuk mengatasi gangguan hiperaktifitas dan gangguan pemusatan
perhatian pada anak-anak, walaupun belum ada persetujuan dari FDA untuk
indikasi tersebut. Selain itu, uji klinik biasanya tidak dilakukan terhadap
anak-anak, sehingga diduga 50-75% dari semua obat yang diresepkan oleh dokter
anak di AS adalah berupa penggunaan off-label, karena memang indikasinya untuk
penggunaan pada anak-anak belum mendapat persetujuan FDA.
Mengapa
Dokter Meresepkan obat Off – Label?
Bisa jadi karena obat-obat yang tersedia dan approved tidak
memberikan efek yang diinginkan, sehingga dokter mencoba obat yang belum
disetujui indikasinya. Beberapa alasannya antara lain adalah adanya dugaan
bahwa obat dari golongan yang sama memiliki efek yang sama (walaupun belum
disetujui indikasinya), adanya perluasan ke bentuk yang lebih ringan dari
indikasi yang disetujui, atau perluasan pemakaian untuk kondisi tertentu yang
masih terkait (misalnya montelukast untuk asma digunakan untuk Penyakit paru
obstruksi kronis), dll. Atau memang dokternya ingin coba-coba walaupun belum
ada bukti klinik yang mendukung.
Penggunaan obat off-label yang sering terjadi adalah pada
pengobatan kanker. Sebuah studi tahun 1991 menemukan bahwa sepertiga dari semua
pemberian obat untuk pasien kanker adalah off-label, dan lebih dari setengah
pasien kanker menerima sedikitnya satu obat untuk indikasi off-label. Sebuah
survei pada tahun 1997 terhadap sebanyak 200 dokter kanker oleh American
Enterprise Institute dan American Cancer Society menemukan bahwa 60% dari
mereka meresepkan obat off-label. Hal ini karena umumnya uji klinik untuk obat
kanker dilakukan pada satu jenis kanker tertentu, sehingga indikasi yang
disetujui adalah hanya untuk jenis kanker tertentu. Tetapi kenyataannya, dokter
sering mencoba obat kanker tersebut untuk jenis kanker yang lain yang belum
disetujui penggunaannya. Maka ini termasuk juga penggunaan obat off-label.
Apa
Saja Contoh Penggunaan Obat Off – Label?
Penggunaan obat off-label sendiri ada dua jenis. Yang
pertama, obat disetujui untuk mengobati penyakit tertentu, tapi kemudian
digunakan untuk penyakit yang sama sekali berbeda. Misalnya amitriptilin yang
disetujui sebagai anti depresi, digunakan untuk mengatasi nyeri neuropatik.
Yang kedua, obat disetujui untuk pengobatan penyakit tertentu,
namun kemudian diresepkan untuk keadaan yang masih terkait, tetapi di luar
spesifikasi yang disetujui. Contohnya adalah Viagra, yang diindikasikan untuk
mengatasi disfungsi ereksi pada pria, tetapi digunakan untuk meningkatkan
gairah sexual buat pria walaupun mereka tidak mengalami impotensi atau
disfungsi ereksi.
Beberapa
contoh lain penggunaan obat off-label antara lain adalah:
1.
Actiq
(oral transmucosal fentanyl citrate), digunakan secara off-label untuk
mengatasi nyeri kronis yang bukan disebabkan oleh kanker, meskipun indikasi
yang disetjui oleh FDA adalah untuk nyeri kanker.
2.
Carbamazepine,
suatu obat anti epilepsi, banyak dipakai sebagai mood stabilizer
3.
Gabapentin,
disetujui sebagai anti kejang dan neuralgia (nyeri syaraf) post herpes, banyak
dipakai secara off-label untuk gangguan bipolar, tremor/gemetar, pencegah
migrain, nyeri neuropatik, dll.
4.
Sertraline, yang disetujui sebagai
anti-depressant, ternyata banyak juga diresepkan off-label sebagai pengatasan
ejakulasi dini pada pria.
Golongan Obat Yang Sering Digunakan
Secara Off – Label ?
Dan
masih banyak lagi, yang mungkin pada satu negara dengan negara lain terdapat
jenis-jenis penggunaan obat off-label yang berbeda. Beberapa golongan obat
populer yang sering dipakai off-label antara lain adalah obat-obat jantung,
anti kejang, anti asma, anti alergi, dll. seperti tertera dalam gambar.
Apa Pentingnya Mengetahui Obat Off –
Label?
Penggunaan obat off-label sah-sah saja dan seringkali
bermanfaat. Bisa jadi bukti klinis tentang efikasinya sudah ada, tetapi belum
dimintakan approval kepada lembaga berwenang karena berbagai alasan. Tetapi
perlu diketahui juga bahwa karena obat ini digunakan di luar indikasi yang
tertulis dalam label obat, maka jika obat memberikan efek yang tidak
diinginkan, produsen tidak bertanggung-jawab terhadap kejadian tersebut. Kadang
pasien juga tidak mendapatkan informasi yang cukup dari dokter jika dokter
meresepkan obat secara off label. Dan jika terdapat penggunaan obat off-label
yang tidak benar, maka tentu akan meningkatkan biaya kesehatan. Faktanya banyak
penggunaan obat off-label yang memang belum didukung bukti klinis yang kuat.
Lebih rugi lagi adalah bahwa obat-obat yang diresepkan secara off-label umumnya
tidak dicover oleh asuransi, sehingga pasien harus membayar sendiri obat yang
belum terjamin efikasi dan keamanannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar