Kreasi dan Kreatif

Rabu, 29 Mei 2013

Kegunaan Modeling Protein dalam mengembangkan agen terapetik



Dunia medis mendapatkan tantangan baru dari berbagai penyakit menular. Demam berdarah Dengue, Flu Burung, dan sekarang Flu Babi, adalah infeksi virus yang sampai sekarang belum ada obatnya. Terapi yang ada, hanya berfungsi untuk menahan laju replikasi virus. Diperlukan metode dan teknologi baru untuk mengatasinya. Bioinformatika datang untuk membantu. Apakah yang bisa dilakukan bioinformatika untuk itu? Mari kita simak. Kemajuan pesat dari riset biologi molekuler telah menghasilkan data eksperimen proteomik dalam jumlah masif. Data tersebut disimpan pada database terpusat, seperti SWISS PROT atau Genbank. Bersamaan dengan itu, hasil kristalografi sinar X dari protein, disimpan pada database PDB (Protein Data Bank). Aplikasi Modeling Protein dalam dunia biomedis, kelihatan sangat nyata pada pengembangan anti retroviral.
Salah satu contohnya, adalah pengembangan obat untuk HIV/AIDS (Human Immunodeficiency virus). Seperti yang kita ketahui, HIV memiliki beberapa enzim yang berfungsi untuk integrasi genom virus pada genom inang, replikasi virus, dan lisis sel inang. Beberapa enzim yang telah diketahui memiliki peranan sangat penting dalam eksistensi HIV, adalah integrase dan reverse transcriptase. Integrase berfungsi untuk mengintegrasikan genom virus pada sel inang, sementara reverse transcriptase berguna untuk mengkonversi RNA virus menjadi DNA. Titik kritis dalam pengembangan obat, adalah mencari lead compound yang dapat menjadi inhibitor pada kedua enzim tersebut. Sebelum dilakukan eksperimen laboratorium, ada baiknya dilakukan modeling komputer, untuk menentukan lead compound apa yang cocok sebagai inhibitor.
Secara teknis, modeling tersebut dapat dilakukan dengan dua tahap:
·         Pertama, membangun model kinetika reaksi enzim-inhibitor. Dengan memasukkan rumus perhitungan, maka dapat diketahui apakah inhibitor tersebut bersifat reversibel, ireversibel, atau non reversibel. Data-data ini akan berguna untuk pengembangan obat selanjutnya. Kedua, dan ini tahap yang paling penting, adalah membangun model komputer terhadap interaksi protein/enzim dengan inhibitor. Model ini bersifat 3D, sehingga dapat me-render binding site dan catalytic site dari enzim secara sangat jelas. Interaksi inhibitor dengan kedua situs itu juga dapat dimonitor dengan jelas. Dalam tahap ini, ikatan yang terlibat pada reaksi, seperti ikatan kovalen, ionik, atau gaya van der waals, semua dapat dimonitor secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam pembangunan model ini, secara default, pelarut yang digunakan adalah air. Inhibitor yang dikembangkan, dapat bersifat sintetik, semi sintetik, atau dari bahan alam. Membangun molekul inhibitor sintetik, dalam rangka mencari kecocokannya dengan reaksi enzimatik, dapat dilakukan dengan bantuan software modeling kimia. Jika sudah ditemukan molekul yang cocok, baru tahap selanjutnya, yang tidak berhubungan langsung dengan modeling, dapat dilakukan. Langkah ini adalah melakukan sintesis laboratoris terhadap senyawa tersebut.
Langkah membangun model kimia inhibitor di komputer, akan sangat menghemat biaya untuk sintesis laboratoris. Berhubung regen biokimia harganya mahal, maka diperlukan langkah cerdas untuk penghematan, tanpa harus mengorbankan kualitas riset. Dengan pertama kali membangun model kimia inhibitor, kemudian mengujinya dalam model reaksi protein/enzim-inhibitor, dan setelah itu baru melakukan sintesis inhibitor, maka langkah ini akan menghemat banyak sekali dana penelitian.

dikutip dai: http://sciencebiotech.net


Tidak ada komentar:

Posting Komentar